Minggu, 12 April 2015
Tobat Seorang Penjahat
Jambi Dari Masa Ke Masa
Maksud Pra Kerajaan Non Islam adalah era dimana Jambi belum ada pemerintahan atau kerajaan yang memerintah dan memimpin, saat itu Jambi masih masuk dalam zaman purba. Menurut Junaidi T. Noor dalam Mencari Jejak Sangkala, etnik yang pertama menghuni Jambi adalah etnik Melayu kemudian berkembang ke dalam Suku Kerinci, Suku Batin, Suku Bangsa Dua Belas, Suku Penghulu sampai Suku Anak Dalam. Masa prasejarah Jambi terdiri dari Zaman Mesolitik dan Zaman Neolitik. Kemudian masa Kerajaan Melayu Kuno, Kerajaan Melayu Islam, Masa Kolonial, Masa Kemerdekaan RI dan Masa Provinsi Jambi.
Penduduk Jambi terbentuk dari perpaduan berbagai kelompok etnik, baik penduduk asli maupun pendatang. Penduduk asli Jambi terdiri atas Suku Bangsa Kubu, Kerinci, Batin, Orang Laut atau Bajau, Orang Penghulu, Suku Pindah dan Orang Melayu. Sedangkan penduduk pendatang berasal dari Palembang, Minangkabau, Jawa, Batak, Bugis, Banjar dan sebagainya. Selain itu orang-orang Tionghoa, Arab dan India juga merupakan bagian dari pengayaan suku atau asimilasi penduduk Jambi. Suku Bangsa Kubu atau disebut Suku Anak Dalam (SAD) merupakan suku bangsa yang paling awal datang ke Jambi sekitar 4500 sebelum masehi. Asal usul Suku SAD masih belum dapat dipastikan, ada yang berpendapat bahwa SAD merupakan penduduk Sriwijaya yang diserang oleh Kerajaan Chola India, Kerjaan Singosari dan Majapahit.
Suku Bangsa Kerinci merupakan penduduk kedua yang datang ke Jambi. Mereka diperkirakan berasal dari Hindia Belakang yang datang melalui Semenanjung Malaka terus ke hulu menyusuri Batanghari mencari daerah subur yaitu Kerinci. Perpindahan ini terjadi sekitar pada 4000 sebelum masehi.
Suku Batin, Penghulu dan Suku Pindah mendiami Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo dan Tebo. Suku Batin berasal dari daerah pegunungan sebelah barat seperti Kerinci. Diperkirakan perpindahan itu terjadi sekitar abad pertama masehi. Setelah daerah tersebut didiami orang-orang Suku Batin, pada abad 15 datang orang-oramg Penghulu yang berasal dari Minangkabau. Mereka datang karena tertarik dengan tambang-tambang emas yang banyak terdapat di daerah tersebut, seperti Liman, Batang asai, Nibung, Pangkalan Jambu dan Ulu Tabir. Kemudian setelah itu datang pula orang-orang Rawas dari Palembang yang disebut orang Pindah.
Suku Melayu diperkirakan datang ke Jambi pada 3500 sebelum masehi. Mereka berasal dari Hindi Belakang yang mendiami daerah Kabupaten Batanghari, Bungo, Tebo, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Muaro Jambi dan Kota Jambi. Pola kehidupan Suku Melayu mirip dengan Suku Batin yang hidup dari hasil pertanian. Sedangkan Suku Bajau dan Orang Laut merupakan penduduk pendatang terakhir yang hidup dan mengembangkan kebudayaannya di daerah tepi pantai.
2. Kerajaan Non Islam.
Yang dimaksud dengan Kerajaan Non Islam adalah masa dimana Jambi mulai berkembang pengaruh agama Hindu dan Budha. Ini terjadi sekitar abad IV sampai XVI masehi. Pengaruh agama Hindu dan Budha melahirkan beberapa kerajaan di Jambi yang berganti-ganti seperti Kerajaan Melayu Kuno, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Melayu-Singosari dan Kerajaan Darmasraya. Bukti otentik tentang keberadaan Kerajaan Non Islam di Jambi dapat dibuktikan dari kronik Cina zaman Dinasti Tang berkisar tahun 645 masehi yang menyebutkan datangnya utusan dari negeri Mo-lo-yeu. Para ahli sepakat yang dimaksud adalah Kerajaan Melayu karena terletak di pantai Timur Pulau Sumatera yang berarti di Jambi. Dalam pemberitaan Arab, pada zaman pemerintahan Khalifah Muawiyah (661-681 M) disebut istilah Zabag sebagai bandar lada terbesar di Selatan Pulau Sumatera, ini yang dimaksud adalah Muara Sabak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Keberadaan Kerajaan Melayu di Jambi dibuktikan dari pemberitaan I-tsing seorang pendeta Budha yang mengadakan perjalanan ke India (671 M). Dalam perjalanan pulang kembali dari India, I-tsing menyebut ada Kerajaan Melayu (Mo-lo-yeu) yang berubah menjadi San-fo-tsi (Sriwijaya). Disamping itu dibuktikan dari adanya prasasti Karang Birahi yang dibuat sekitar tahun 686 M. Kerajaan Sriwijaya perlahan mulai menghilang ini dibuktikan dari pemberitaan Ling-wai-tai-ta sekitar abad XI M bahwa ada negeri Chan-pei (maksudnya Jambi) mengirim utusan ke negeri Cina atas kehendak sendiri.
Selanjutnya Kerajaan Melayu bangkit lagi dengan dibuktikan dari ekspedisi Pamelayu dari Kerajaan Singosari Jawa Timur tahun 1275 dengan membawa arca Amoghapsa. Ekspedisi ini lambang kerja sama anatara Kerajaan Melayu dengan Kerajaan Singosari. Kerajaan Melayu pada tahun 1350 dipimpin oleh Raja Aditiyawarman memimpin di huluan Sungai Batanghari sekitar Bungo-Tebo. Kekuasaannya sampai ke Minangkabau. Selanjutnya Raja Adityawarman memindahkan pusat Kerajaan Melayu ke Pagaruyung yang berubah menjadi Kerajaan Darmasraya. Sekitar abad XVI kerajaan terbesar Nusantara Majapahit semakin menghilang, begitu juga dengan Kerajaan Melayu juga menghilang. Selanjutnya sekitar abad ke XVI agama Islam masuk ke Nusantara termasuk Jambi.
3. Kerajaan Islam.
Menurut A. Rauf Ibrahim dalam Seminar Masuknya Islam di Jambi pada bulan Maret 1981 di kampus IAIN Jambi bahwa pembawa agama Islam pertama di Jambi adalah Ahmad Salim dari Turki. Demikian juga dalam laporan hasil penelitian “Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Jambi” yang dilakukan oleh IAIN Jambi tahun 1979 disebutkan bahwa penyebar agama Islam pertama di Jambi adalah Ahmad Salim dengan gelar Datuk Paduko Berhalo yang juga adalah suami Raja Melayu Jambi Puteri Selaras Pinang Masak. Kerajaan Islam di Jambi dimulai dari raja pertamanya Puteri Selaras Pinang Masak sekitar tahun 1400 an. Dari raja pertama inilah secara turun temurun lahirnya raja-raja baru di Jambi sampai akhir abad 19. Dari sekian banyak raja yang sangat terkenal adalah Sultan Thaha Syaifuddin.
Menurut Rd. H. Abdullah dalam bukunya berjudul Riwayat Asal Ditemukannya “Tanah Pilih” tahun 1995, nama-nama Raja/Kepala Pemerintahan Jambi dari tahun 1460 sampai dengan 1904 adalah sebagai berikut :
a. Puteri Selaras Pinang Masak/Datuk Paduko Berhala (Ahmad Salim) tahun 1460
b. Orang Kayo Pingai tahun 1480
c. Orang Kayo Pedataran tahun 1490
d. Orang Kayo Hitam tahun 1500
e. Pangeran Hilang Diair atau disebut Penembahan Rantau Kapas tahun 1515
f. Penembahan Rengas Pandak tahun 1540
g. Penembahan Bawah Sawah tahun 1565
h. Penembahan Kota Baru tahun 1590
i. Pangeran Kedah gelar Sultan Abdul Kahar tahun 1615
j. Pangeran Depati Anom gelar Sultan Abdul Jalil atau disebut Sultan Agung tahun 1643
k. Raden Penulis gelar Sultan Abdul Mahji atau disebut Sultan Ingologo tahun 1665
l. Raden Cakra Negara gelar Sultan Kiyai Gede atau disebut Pangeran Depati tahun 1690
m. Kiyai Singo Patih gelar Sunan Abdul Rahman tahun 1690
n. Raden Culip (Julat) gelar Sunan Ingologo tahun 1690
o. Sultan Muhammad Syah tahun 1696
p. Sultan Seri Ingologo tahun 1740
q. Pangeran Purbo Suto Wijoyo gelar Sultan Anom Seri Ingologo atau disebut Sultan Zainuddin tahun 1770 r. Pangeran Ratu gelar Sultan Ratu Seri Ingologo atau disebut Mas’ud Badaruddin tahun 1790
s. Raden Denting gelar Sultan Agung Seri Ingologo atau disebut Sultan Muhammad Mahidin tahun 1812
t. Raja Jambi yang belum dikenal beristrikan Puteri Raja Palembang bernama Ratu Ibu atau Puteri Ayu
u. Raden Muhammad atau disebut Pangeran Ratu gelar Sultan Muhammad Fachruddin (Sultan Keramat) tahun 1833
v. RA. Rahman atau disebut Pangeran Ratu gelar Sultan Abdul Rahman Nazaruddin tahun 1841
w. Pengeran Jayaningrat atau disebut Pangeran Ratu gelar Sultan Thaha Syaifuddin tahun 1855
x. Raden Ahmad gelar Sultan Ahmad Nazaruddin atau disebut Sultan Bayang tahun 1858
y. Sultan Ahmad Mahidin tahun 1881
z. Pangeran Suryo gelar Sultan Ahmad Zainuddin tahun 1886
Dari tahun 1855 Raja Kerajaan Jambi adalah Sultan Thaha Syaifuddin sampai tahun 1904. Tapi karena Sultan Thaha Syaifuddin tidak bersedia kerja sama dengan Belanda dan membatalkan semua perjanjian kerjasama yang sudah dijalin oleh pendahulunya maka Belanda marah besar dan memerangi Sultan Thaha Syaifuddin mulai dari mengusir dari Istana kerajaan (lokasinya sekarang menjadi Mesjid Agung Alfalah) sampai dengan menyerang tempat persembunyian Sultan Thaha Syaifuddin di Betung Berdarah. Pada bulan April 1904 Sultan Thaha Syaifuddin gugur dalam perang yang tidak seimbang. Setelah Sultan Thaha Syaifuddin dinyatakan wafat oleh Belanda, kepala pemerintahan Provinsi Jambi dipimpin oleh Residen masing-masing adalah :
a. OL Helfrich tahun 1906-1908
b. AJN Engelemberg tahun 1908-1910
c. Th. AL Heyting tahun 1910-1913
d. AL Kamerling tahun 1913-1915
e. HCE Qwaast tahun 1915-1918 f. HLC Petri tahun 1918-1923
g. C Poorman tahun 1923-1925
h. GJ Van Dongen tahun 1925-1927
i. HEK Ezerman tahun 1927-1928
j. JRF Varsohoor Van Noose tahun 1928-1931
k. W Tainbuch tahun 1931-1933
l. Ph J Van Der Meulan tahun 1933-1936
m. MJ Ruhschaver tahun 1936-1940
n. Reuvers tahun 1940-1942
o. Seky Tojoo (Kepala Pemerintahan/Syu Chokan) tahun 1942-1945 sudah masuk era penjajahan Jepang.
4. Pembentukan Otonomi Provinsi Jambi.
Pembentukan Otonomi Provinsi Jambi berlangsung sebanyak 3 (tiga) kali sejak Kemerdekaan Republik Indonesia. Awalnya Provinsi Jambi pada tahun 1945 bergabung dengan Sumatera, kemudian pada tahun 1950 masuk Wilayah Sumatera Tengah dan terakhir menjadi wilayah otonomi sendiri berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swantantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau (diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958).
Sedangkan pembentukan kabupaten/kota dalam Provinsi Jambi terjadi sebanyak 3 kali juga yaitu pada tahun 1956 dengan Daerah Swantantra Tingkat II Batanghari, Merangin, Kerinci dan Kotapraja Jambi. Kemudian terjadi pemekaran kabupaten/kota pada tahun 1965 dengan pembentukan Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko dan Tanjung Jabung. Terakhir terjadi lagi pemekaran dengan Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Merangin dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Berikut adalah nama-nama Residen dan Gubernur Jambi dari tahun 1945 sampai sekarang adalah terdiri dari sebagai berikut :
a. Dokter Sagaf Yahya Residen Tahun 1945
b. R. Inu Kertopati Residen Tahun 1945-1950
c. Bachsan Residen Tahun 1950-1953
d. Hoesin Puang Limboro Residen Tahun 1953-1954
e. R. Sadono Residen Tahun 1954-1955
f. Yamin gelar Datuk Bagindo Residen Tahun 1955-1957
g. M. Yusuf Singadekane Gubernur Tahun 1957-1967
h. H. Abdul Manaf Pj. Gubernur Tahun 1967-1968
i. RM. Nur Atmadibrata Gubernur Tahun 1968-1974
j. Jamaluddin Tambunan, SH Gubernur Tahun 1974-1979
k. Edy Sabara Pj Gubernur Tahun 1979
l. Maschun Sofwan, SH Gubernur Tahun 1979-1989
m. Drs. H. Abdurrachman Sayuti Gubernur Tahun 1989-1999
n. Drs. H. Zulkifli Nurdin Gubernur Tahun 1999-2004
o. DR. Sudarsono Hardjosoekarto Pj Gubernur Tahun 2004-2005
p. Drs. H. Zulkifli Nurdin Gubernur Tahun 2005-2010
q. Drs. H. Hasan Basri Agus Gubernur Tahun 2010-2015
Senin, 27 Desember 2010
PERLUKAH PERGURUAN TINGGI PASCA PESANTREN
Kondisi obyektif menunjukkan bahwa pada akhir-akhir ini mulai dirasakan ada ‘pergeseran’ peran dan fungsi pesantren. Peran dan fungsi pesantren sebagai kawah candradimuka orang yang rasikh fi ad-diin (ahli dalam pengetahuan agama) terutama yang terkait dengan norma-norma praktis (fiqh) semakin memudar. Hal ini disebabkan antara lain desakan gelombang modernisasi, globalisasi dan informasi yang berimplikasi kuat pada pergeseran orientasi hidup masyarakat. Minat masyarakat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama semakin lemah. Kondisi bertambah krusial dengan banyaknya ulama yang menghadap Allah sebelum sempat menyampaikan keilmuan dan kesalehannya secara utuh kepada generasi penggantinya. Faktor inilah yang ditengarai menjadi penyebab pesantren dari waktu ke waktu mengalami degradasi, baik dalam amaliah, ilmiah maupun khuluqiyah.
Penurunan kualitas peran dan fungsi pesantren ini memunculkan kerisauan dikalangan ulama akan punahnya khazanah ilmu-ilmu keislaman. Jika persoalan ini tidak ditangani secara serius tentu sangat membahayakan masa depan umat Islam. Dari sinilah pentingnya segera dibentuk lembaga yang secara khusus intens mempersiapkan kader-kader ulama yang memiliki integritas ilmiah, amaliah dan khuluqiyah yang mumpuni. Proses transformasi zaman yang berbentuk persaingan global telah membawa perubahan-perubahan yang cukup signifikan pada sektor pendidikan, baik pada tingkat institusional formal maupun pada tingkat paradigma pendidikan. Perguruan Tinggi pasca Pondok Pesantren dikenal dengan istilah Ma’had Aly. Selama ini tamatan dari pondok pesantren melanjutkan studi tingkat tinggi pada universitas umum atau institut keislaman, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. Ma’had Aly merupakan salah satu institusi pendidikan tinggi pesantren di Indonesia dalam upaya merespon era globalisasi dengan mengadakan perubahan sistem pendidikan dan paradigma keilmuan.
Ditengah pesatnya persaingan global dewasa ini, Ma’had Aly merupakan salah satu institusi pendidikan pada tingkat perguruan tinggi yang ada di pesantren yang harus mampu merespon dengan langkah yang responsive, sudah tentu adanya sinergitas antara lembaga pemerintahan dan Ma’had Aly. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa untuk mewujudkan perguruan tinggi yang markettable dan mampu ikut dalam persaingan di tingkat global harus terjalin suatu kerjasama dengan seluruh elemen yang ada dalam Ma’had Aly dan pemerintah. Sebagai sebuah lembaga Pendidikan Tinggi, Ma’had Aly ini berorientasi untuk mencetak lulusan yang kompeten dalam menganalisa dan menyelesaikan problem-problem waqi’iyyah dengan mendasarkan pada basis tradisi ulama klasik. Salah satu misi Ma’had Aly ialah menyelenggarakan dan melaksanakan pengkaderan ahli agama dengan membekali dan menanamkan tradisi ilmiyah dan amaliyah al-salaf-al-shalih.
Selama ini, persoalan-persoalan waqi’iyyah kian bertambah seiring perkembangan zaman. Kemajuan peradaban dan teknologi menimbulkan problem-problem waqi’iyyah yang harus segera dituntaskan. Jika tidak diiringi dengan dinamisasi pemikiran-pemikiran keagamaan, niscaya agama dalam hal ini Islam sebagai agama yang universal tidak berdaya dalam menghadapi kasus-kasus kontemporer dan akan ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini tentu menuntut akan sumber daya manusia Indonesia khususnya di Provinsi Jambi yang mempunyai kapasitas dalam menjawab permasalahan waqi’iyyah atau kontemporer. Sebagai upaya konkrit untuk mengatasi persoalan di atas adalah dengan mempersiapkan dan mencetak calon kader-kader ahli agama kontemporer (faqih zamanihi) sebagai pemegang tongkat estafet tradisi ulama al-salaf al-shalihin. Atas dasar pemikiran tersebut maka di Provinsi Jambi sudah saatnya dibangun sebuah Perguruan Tinggi atau disebut dengan Ma’had Aly untuk meningkatkan taraf pendidikan tamatan Pondok Pesantren atau yang setara.
Sebagai lembaga Pendidikan Tinggi, Ma’had Aly bersifat independen, dengan pengertian, Ma’had Aly bebas menentukan arah kebijakan dan kurikulum sendiri. Fungsi Ma’had Aly adalah :
1. Tri Dharma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
2. Menjadi agen moderinisasi bangsa dan negara dalam wadah masyarakat madani (civil society).
Ma’had Aly akan mengisi kekurangan UIN, IAIN, STAIN dalam hal penguasaan kitab kuning (al-Turats) buah karya ulama mutaqadimin, maupun kitab kontemporer sebagai buah karya ulama mutaakhirin. Pada saat yang bersamaan, Ma’had Aly juga menguasai metodologi pendidikan modern yang hal ini tidak dikuasai oleh pesantren tradisional. Sehingga nantinya Ma’had Aly bisa mengintegrasikan sebagai cendikiawan yang berakhlakul karimah, tawadlu, sholih sebagaimana khas ulama salaf, juga Ma’had Aly bisa mempromosikan sebagai cendikiawan yang menguasai sains dan metodologi modern khas perguruan tinggi di dunia.
Podok Pesantren As’ad Jambi akan memotori sekaligus menjadi lokomotif untuk membangun Perguruan Tinggi tersebut yang diberi nama Ma’had Aly KH. Ibrahim (Makiyah) Al-Jambi. Semoga Allah SWT berkenan memberikan ridho-Nya. Aamin
Rabu, 13 Januari 2010
MENGAPA PILIH NU ?
Pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya Jawa Timur berdiri organisasi modern Islam pertama di Indonesia yang disebut dengan Nahdatul Ulama (NU). Pendiri NU secara resmi adalah KH. M. Hasyim Asy’ari. Latar belakang berdirinya NU adalah karena dibatalkannya utusan pesantren untuk menghadiri Muktamar Khalifah di Mekah sebab dianggap bukan organisasi resmi. Pada hal utusan pesantren yaitu KH. A. Wahab akan menyampaikan aspirasi kepada dunia Islam agar Kota Mekah di bawah Raja Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi, tidak melarang semua bentuk amaliah keagamaan yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di tanah arab seperti sistem bermazhab, tawasul, ziarah kubur, maulid nabi dan sebagainya.
Kegagalan utusan pesantren dalam menyampaikan aspirasi, menyadarkan para ulama pengasuh pesantren bahwa perlu wadah sebagai sarana perjuangan bagi para ulama dalam menegakkan syariat Islam. Berdirilah organisasi yang dapat mewakili ulama dan komunitasnya yaitu Nahdatul Ulama (NU). Pada awal perjuangannya NU hanya konsisten pada menjaga paham Ahlusunnah Waljamaah yang menganut salah satu dari 4 mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali) terhadap serangan penganut ajaran Wahabi.
Umat Islam di Provinsi Jambi sejak zaman dahulu sudah menerapkan faham Nahdatul Ulama. Artinya walaupun masyarakat Jambi belum mengenal NU akan tetapi ajaran-ajaran Islam dari para Kyai atau Guru sudah menerapkan konsep Ahlussunah Waljamaah. Konsep NU baru dikenal masyarakat Jambi setelah Kemerdekaan RI 1945. Tokoh yang memperkenalkan konsep NU di Jambi adalah KH. MO. Bafadhal. Nahdatul Ulama baru berkembang pesat setelah hasil Muktamar NU ke 19 pada tahun 1952 di Palembang yang menjadikan NU sebagai Partai Politik dan ikut dalam Pemilihan Umum. Sejak itu NU di Provinsi Jambi semakin berkembang pesat. Basis NU kala itu adalah di Pondok Pesantren yang ada di Seberang Kota Jambi seperti Pesantren As’ad di bawah pimpinan KH. Abdul Qodir Ibrahim, Pesantren Nurul Islam di bawah pimpinan KH. Kemas Abd. Somad dan sebagainya. Melalui pesantren inilah NU berkembang sampai ke pelosok-pelosok Provinsi Jambi. Para santri yang berasal dari kampung-kampung terpencil menjadi pioner dan sebagai agen dakwah Islam. Bahkan tidak sedikit yang menjadi pejabat dan pimpinan tertinggi di Provinsi Jambi.
Tujuan didirikan NU dapat dilihat dalam pasal 3 Statuten Perkumpulan NU (1933) yakni : mengadakan perhubungan diantara ulama-ulama yang bermazhab, memeriksa kitab-kitab apakah itu dari Kitab Ahlusunnah Waljamaah atau Kitab-Kitab Ahli Bid’ah, menyiarkan agama Islam dengan cara apa saja yang halal, berikhtiar memperbanyak madrasah, mesjid, surau dan pondok pesantren. Begitu juga dengan hal ihwalnya anak yatim dan orang-orang fakir miskin, serta mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan yang tidak dilarang oleh syarak agama Islam. Dengan pesatnya perkembangan dan kemajuan zaman, perubahan sudah tidak dapat dielakkan lagi. Islam sendiri sangat mentolerir perubahan. Arah, Visi dan Misi Nahdatul Ulama mengalami perubahan seiring dengan berubahnya pucuk pimpinan. Gerakan NU berkembang tidak saja pada bidang agama dan pendidikan akan tetapi juga bidang sosial, ekonomi, sains dan teknologi serta dunia infomatika.
Senin, 06 April 2009
Komitmen Sultan Thaha Syaifuddin
(Dalam rangka memperingati 105 tahun gugurnya Sultan Thaha Syaifuddin)
Dengan pedang terhunus di tangan, dalam perang yang tidak seimbang, Sultan Thaha Syaifuddin (STS) bertempur melawan Belanda bersama para pengikutnya demi mempertahankan tanah air. Di hutan padang rimba Tanah Garo Kabupaten Tebo, Belanda menggempur habis markas STS. Lewat tengah malam Pahlawan Nasional STS gugur tertembus peluru Belanda, terhempas mencium bumi, darahnya harum sebagai kusuma bangsa.
STS memang wafat dan gugur sebagai pejuang bangsa. Akan tetapi ajaran dan filsafat hidupnya tidak akan musnah. Salah satu pesan yang pernah disampaikan adalah jika mati sebut hidup, bila hidup katakan mati. Pesan ini menimbulkan makna yang beragam sehingga mengakibatkan lokasi makam STS berada tidak pada satu tempat. Kalau dikaitkan dengan sumpah pengikut STS setih setiyo yang salah satu isinya berbunyi “tunduklah kamu ibarat pisau lipat dan haruslah kamu seentak galah, serengkuh dayung, ibarat tetangguk di udang sama menengok, tetangguk di tabun sama mengerok (membuang), dapat samo belabo, hilang samo berugi”. Ini berarti STS tidak hanya ingin memberikan semangat berjuang rakyat Jambi dan mematahkan perlawanan Belanda tetapi ada pesan lain kepada generasi berikutnya yang lebih bermakna dibalik filosofi pesan tersebut.
Semua perjanjian yang dibuat dan ditandatangani oleh pendahulunya dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku oleh STS. Pemerintah Kolonial Belanda, memecat dan memberhentikan STS sebagai Kesultanan Raja Jambi sekaligus menduduki istana Keraton Tanah Pilih dan menggantinya dengan Sultan yang lain (Sultan Bayang/Sultan Tidur), akan tetapi rakyat Jambi tetap mengakui bahwa STS adalah masih Raja Kesultanan Jambi. Bahkan pengikutnya semakin banyak dan besar.
Tidak pernah menikmati fasilitas istana, tidak punya rumah dan tanah pribadi bahkan menolak mentah-mentah tawaran Belanda memberikan segala kebutuhan hidup yang mewah. Memilih bergabung dengan rakyat dalam hidup sederhana, berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan yang lain. Pada setiap kesempatan memasuki kampung warga, maka rakyat menyambut kedatangan STS dengan suka cita. Taat menjalankan perintah Tuhan, seorang muslim sejati, bergaul dengan semua kalangan, diplomat handal serta memiliki strategi unggul dalam mengatur siasat bertempur dan membagi tugas prajurit.
STS telah meninggalkan contoh teladan dan sikap hidup kepada generasi selanjutnya. Kepada rakyat dan pemimpin mestinya pesan ini dijadikan sebagai falsafah. Pesan itu bermakna ikhlas dalam berbuat dan berbuat dengan ikhlas atau sepi ing pamrih rame ing gawe. Sumpah Setih Setiyo semakin menguatkan makna dibalik pesan tersebut. Pisau lipat menggambarkan ketajaman pikiran dalam berbuat meskipun tersembunyi, pentingnya kebersamaan dalam membangun kehidupan berdemokrasi.
Saat ini kita melihat betapa banyak orang yang mencari keuntungan sesaat, memakai nama rakyat melalui kelompok-kelompoknya untuk mencari keuntungan pribadi. Mengeruk keuntungan dengan mengorbankan bawahan/staf. Sudah sulit untuk mencari pemimpin yang dapat diteladani. Rakyat yang miskin dibeli dengan harga murah sehingga semakin miskin dan terpuruk.
Setelah 105 tahun gugur, adakah nilai-nilai kehidupan yang pernah diajarkan oleh STS akan tetap hidup dan bertahan. Atau hanya menjadi catatan sejarah yang terlewatkan dan dilupakan begitu saja. Semoga hasil Pemilu 2009 melahirkan STS yang ikhlas dalam berbuat dan berbuat dengan ikhlas, bukankah patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu.
Jambi, 26 Januari 2009.
Senin, 24 November 2008
Sedikit Tentang Temenggung Merah Mato
Sabtu, 09 Februari 2008
MUHAMMAD AL – FATIH
Pada tahun 1450 Muhammad Al-Fatih dapat menaklukkan Konstantinopel yang merupakan pusat kebudayaan bangsa Eropa. Ketika pasukan Muhammad Al-Fatih memasuki Konstantinopel, Sultan sangat terkejut ketika didapatinya di dalam Gereja besar beberapa orang Pendeta sedang berlindung sambil berdo’a. Melihat kehadiran Sultan para pendeta semakin bertambah ketakutannya.
Muhammad Al-Fatih mengatakan kepada mereka bahwa agama Nasrani aman dan tentram di bawah kekuasaannya. Kedudukan mereka sama dan sederajat dengan kaum muslimin lainnya. Mereka dibebaskan untuk memilih pimpinan yang disebut dengan Petrik. Kehidupan kemasyarakatan berlangsung damai dan tentram. Toleransi antara umat beragama sangat dijunjung tinggi. Kota Konstantinopel menjadi pusat kebudayaan Islam.
Mesjid dan Gereja dibangun beriringan. Sangat berlainan ketika Konstantinopel masÃh di bawah kekuasaan Kerajaan Byzantium. Kala itu kaum Nasrani dengan Paus Roma terjadi selisih paham yang mengarah kepada perang dan perpecahan. Di bawah kekuasaan Muhammad Al-Fatih Kaum Nasrani mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga dan kaum muslimin. ........bagiku agamaku dan bagimu agamamu......... demikian isi kandungan Alquran.
Beratus tahun lamanya Konstantinopel dikuasai oleh Kerajaan Osmani. Sejarah Islam mencatat bahwa Muhammad Al-Fatih (Muhammad Penakluk) adalah pahlawan yang pertama kali menaklukkannya.
Kerajaan Usmani mulai hancur ketika pimpinannya berganti dengan orang-orang yang sangat mencintai kehidupan duniawi. Sultan yang baru berebut kekuasaan sesama mereka. Perepecahan terjadi, sementara disisi lain bangsa Eropa mulai bangkit yang terkenal dengan zaman Renai