Dahulu
kala ada seorang penjahat yang memutuskan untuk meninggalkan kehidupannya yang
penuh dengan kejahatan dan kekerasan. Ia bertanya kepada seorang imam yang
terkenal untuk meminta nasehat. Ia bercerita kepada sang imam, “Aku sudah
membunuh sembilan puluh sembilan orang, baik laki-laki, perempuan, maupun
anak-anak. Apakah mungkin Allah memaafkan perbuatanku ?”
“Apa
kau membunuh dalam peperangan ?”
“Tidak.
Aku seorang penjahat. Aku penjahat yang terkenal, Mustafa si Durjana. Aku yakin
kau pernah mendengar tentangku.”
“Bagaimana
bisa Allah mengampunimu ? Kau membantai orang yang tak bersalah. Kejahatanmu
sungguh tak terampuni. Sudah pasti kau masuk neraka atas perbuatanmu itu.”
Sang
imam terus mengoceh tentang kejahatan yang dilakukan Mutafa, penderitaan yang
ditimbulkannya pada keluarga korban yang telah dibantainya, dan bagaimana ia
mustahil diselamatkan. Mustafa menjawab, “Yah, kalau begitu lebih baik aku
menggenapkannya jadi seratus.” Dia langsung menghunus pedangnya dan membunuh
imam itu.
Si
penjahat tak merasa puas. Jadi, ia menemui seorang mursyid dan berkata, “Aku
telah membunuh seratus orang ; yang terakhir adalah seorang imam. Aku sudah
membunuh lelaki, perempuan, dan anak-anak. Mungkinkah Allah mengampuni diriku
yang hidup bergelimang kejahatan ?”
Sang mursyid menjawab, “Allah itu Maha
Pengasih, Maha Pengampun. Tuhan telah berfirman bahwa Rahman dan Rahim Ilahi
itu lebih besar daripada Keadilan dan Murka-Nya. Tapi, kau harus bertobat
secara ikhlas dan mengubah hidupmu. Jika kau terus hidup seperti ini, niscaya
kau masuk neraka. Namun, jika kau bertobat dan mungubah hidupmu, kau dapat
berharap mendapatkan Rahman Tuhan. Selain itu, berdoalah agar Allah mau
menerima tobatmu.”
Sang
mursyid lalu berkata, “Di mana kau tinggal ?”
“Aku
tinggal di perkampungan penjahat di perbukitan yang berjarak beberapa kilometer
dari sini. Kami yang tinggal di sana semuanya adalah penjahat.”
“Kau
harus tinggalkan tempat itu. Kau harus bersumpah dengan ikhlas untuk mengubah
hidup lamamu dan meninggalkan teman-temanmu. Tinggalkan kampung penjahat dan
pindahlah ke desa terdekat yang penduduknya jujur dan takut pada Tuhan.”
“Kau
pikir itu akan berhasil ?”
“Karena
Allah itu Maha Pengasih, mungkin saja tobatmu diterima. Hanya itu nasehat yang
bisa kuberikan kepadamu. Ikutilah jika kau mau selamat dari jilatan api
neraka.”
Mustafa
sepakat. Dia pulang, mengemas barang-barangnya, dan berangkat menuju desa
terdekat yang penduduknya takut kepada Allah. Namun, takdir berkata lain. Baru saja
kakinya berjalan beberapa langkah meninggalkan perkampungan penjahat, Mustafa
mati.
Saat
tubuhnya terkulai ke tanah, sepasukan malaikat penjaga neraka muncul untuk
membawa ruhnya. Pada saat yang sama, sepasukan malaikat penjaga sorga datang
dan bersikukuh, merekalah yang berhak
atas ruh Mustafa. Para malaikat penjaga neraka pun bersikeras menyatakan bahwa
penjahat itu tidak punya harapan untuk masuk sorga karena dia sangat bengis dan
telah membunuh seratus orang—laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tidak
berdosa, bahkan termasuk imam. Para malaikat penjaga sorga berargumen bahwa ia
sudah bertaubat. Ia dengan ikhlas memutuskan untuk berubah dan bertindak
berdasarkan niatnya. Sejak saat bertemu sang mursyid, ia tidak pernah melakukan
kasalahan. Dan dia telah berusaha keras berubah. Jadi, jelaslah bahwa ia telah
memulai babak kehidupan yang baru.
Para
malaikat neraka berkata, “Beberapa langkah ke arah yang benar tidaklah cukup.
Itu tidak bisa dibandingkan dengan hidupnya yang penuh dengan kejahatan dan
pembunuhan. Seratus orang telah dibunuhnya. Jiwanya milik kami !”
Kedua
kelompok malaikat terus bertengkar. Mereka akhirnya meminta Malaikat Jibril
untuk menjadi penengah. Setelah mendengarkan argumen kedua belah pihak, Jibril
mengatakan bahwa dia tidak bisa mengambil keputusan. Dia pergi menemui Tuhan
dan bertanya apakah penjahat itu harus masuk sorga atau neraka. Allah
berfirman, “Ambillah alat pengukur Ilahiah-Ku. Ia akan mengukur jarak antara
jasadnya dengan perkampungan penjahat dan kampung orang beriman. Kampung mana
yang lebih dekat akan menentukan nasibnya. Jika ia lebih dekat dengan kota
penjahat, ia akan masuk neraka. Kalau dia lebih dekat dengan kota orang
beriman, dia akan masuk sorga.”
Jibril
membawa alat pengukur itu dan menyampaikan titah Allah kepada para malaikat.
Para malaikat penjaga neraka merasa senang. Mereka yakin akan memenangkan
perselisihan dan membawa ruh Mustafa ke neraka. Lalu Jibril mengukur jarak
antara jasad si penjahat dengan perkampungan penjahat. Alat pengukur itu
langsung menjulur sepanjang dua kaki sampai ke tembok desa penjahat. Kemudian
dia mengukur jarak antara jasad itu dengan kampung orang beriman. Tatkala alat
pengukur itu mulai memanjang, tembok kota orang beriman maju hingga berjarak
lebih dekat satu kaki dari jasad sang penjahat.
Kisah
ini mengingatkan kita akan kasih sayang dan ampunan Allah. Kisah ini
menunjukkan bahwa Tuhan mungkin saja akan mengampuni kita sebesar apapun dosa
yang kita lakukan di masa lalu. Dia akan mengampuni dan mengasihi kita jika
kita menunjukkan pertobatan yang tulus dan serius. Rahmat dan kasih sayang
Allah bekerja secara ajaib setiap hari.
Minggu, 12 April 2015
Ditulis oleh : Azwan, S.Sos, ME
Robert Frager, Ph.D (Syekh Ragip Frager) dalam buku Obrolan
Sufi (untuk transfomasi hati, jiwa dan ruh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar