Senin, 06 April 2009

Komitmen Sultan Thaha Syaifuddin

JIKA MATI SEBUT HIDUP, BILA HIDUP KATAKAN MATI
(Dalam rangka memperingati 105 tahun gugurnya Sultan Thaha Syaifuddin)


Dengan pedang terhunus di tangan, dalam perang yang tidak seimbang, Sultan Thaha Syaifuddin (STS) bertempur melawan Belanda bersama para pengikutnya demi mempertahankan tanah air. Di hutan padang rimba Tanah Garo Kabupaten Tebo, Belanda menggempur habis markas STS. Lewat tengah malam Pahlawan Nasional STS gugur tertembus peluru Belanda, terhempas mencium bumi, darahnya harum sebagai kusuma bangsa.

STS memang wafat dan gugur sebagai pejuang bangsa. Akan tetapi ajaran dan filsafat hidupnya tidak akan musnah. Salah satu pesan yang pernah disampaikan adalah jika mati sebut hidup, bila hidup katakan mati. Pesan ini menimbulkan makna yang beragam sehingga mengakibatkan lokasi makam STS berada tidak pada satu tempat. Kalau dikaitkan dengan sumpah pengikut STS setih setiyo yang salah satu isinya berbunyi “tunduklah kamu ibarat pisau lipat dan haruslah kamu seentak galah, serengkuh dayung, ibarat tetangguk di udang sama menengok, tetangguk di tabun sama mengerok (membuang), dapat samo belabo, hilang samo berugi”. Ini berarti STS tidak hanya ingin memberikan semangat berjuang rakyat Jambi dan mematahkan perlawanan Belanda tetapi ada pesan lain kepada generasi berikutnya yang lebih bermakna dibalik filosofi pesan tersebut.
Semua perjanjian yang dibuat dan ditandatangani oleh pendahulunya dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku oleh STS. Pemerintah Kolonial Belanda, memecat dan memberhentikan STS sebagai Kesultanan Raja Jambi sekaligus menduduki istana Keraton Tanah Pilih dan menggantinya dengan Sultan yang lain (Sultan Bayang/Sultan Tidur), akan tetapi rakyat Jambi tetap mengakui bahwa STS adalah masih Raja Kesultanan Jambi. Bahkan pengikutnya semakin banyak dan besar.
Tidak pernah menikmati fasilitas istana, tidak punya rumah dan tanah pribadi bahkan menolak mentah-mentah tawaran Belanda memberikan segala kebutuhan hidup yang mewah. Memilih bergabung dengan rakyat dalam hidup sederhana, berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan yang lain. Pada setiap kesempatan memasuki kampung warga, maka rakyat menyambut kedatangan STS dengan suka cita. Taat menjalankan perintah Tuhan, seorang muslim sejati, bergaul dengan semua kalangan, diplomat handal serta memiliki strategi unggul dalam mengatur siasat bertempur dan membagi tugas prajurit.
STS telah meninggalkan contoh teladan dan sikap hidup kepada generasi selanjutnya. Kepada rakyat dan pemimpin mestinya pesan ini dijadikan sebagai falsafah. Pesan itu bermakna ikhlas dalam berbuat dan berbuat dengan ikhlas atau sepi ing pamrih rame ing gawe. Sumpah Setih Setiyo semakin menguatkan makna dibalik pesan tersebut. Pisau lipat menggambarkan ketajaman pikiran dalam berbuat meskipun tersembunyi, pentingnya kebersamaan dalam membangun kehidupan berdemokrasi.
Saat ini kita melihat betapa banyak orang yang mencari keuntungan sesaat, memakai nama rakyat melalui kelompok-kelompoknya untuk mencari keuntungan pribadi. Mengeruk keuntungan dengan mengorbankan bawahan/staf. Sudah sulit untuk mencari pemimpin yang dapat diteladani. Rakyat yang miskin dibeli dengan harga murah sehingga semakin miskin dan terpuruk.
Setelah 105 tahun gugur, adakah nilai-nilai kehidupan yang pernah diajarkan oleh STS akan tetap hidup dan bertahan. Atau hanya menjadi catatan sejarah yang terlewatkan dan dilupakan begitu saja. Semoga hasil Pemilu 2009 melahirkan STS yang ikhlas dalam berbuat dan berbuat dengan ikhlas, bukankah patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu.


Jambi, 26 Januari 2009.

1 komentar:

khatami mengatakan...

baaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaggggguuuussssssssss nnnnnnnnnnnnneeeeeeeeeee aaannnnn cerita na wkwkwk